10 Nov 2011

Rekanku dan Sajadah-isme



Shaf lurus dan rapat..”
Kalimat ajakan sang imam terdengar seperti ultimatum yang langsung menghentikan secara otomatis suara-suara riuh-rendah anak-anak TPA yang sedang kasak kusuk di shaf belakang. Ah, tidak..masih ada yang terdengar meribut. Kalau suara tersebut sudah diluar tahap yang bisa ditolerir oleh para Ibu-Ibu dan Amak-Amak yang berdiri di sebelahku, pasti kalimat Imam tadi akan disusul oleh kalimat seruan mereka yang memperingatkan lagi shaf anak-anak di belakang supaya diam,yang isinya paling anak mereka sendiri atau anak tetangga dekat mereka. Sekilas kulayangkan pandangan ke arah mereka, dan tersenyum. Mereka terlihat imut dan manis dalam mukena putih dengan hiasan motif warna-warni yang ceria. Dan seruan peringatan itu, biasanya akan menjadi suara terakhir yang terdengar di ruangan itu sebelum suara merdu takbiratul ikhram terdengar. 
senja ini, adegan yang melibatkan Amak-Amak dan anak-anak di shaf belakang terulang kembali. Adegan yang menurutku adalah salah satu contoh sepele tapi riil dari panggung kehidupan dimana terjadi transfer nilai-nilai religi dan pewarisan kebiasaan dari generasi ‘awal’ ke generasi penerus sesudahnya. Aku sedang merapikan mukena yang kupakai bersiap-siap untuk ‘berangkat dengan kapal’ sesudah semua awak/penumpang dipanggil naik oleh seorang makmum lewat ‘iqamat’. Kami para penumpang kasak-kusuk merapikan barisan. Aku melihat ke arah kanan dan kiri untuk merapikan shaf, dengan segera ku rapatkan badanku ke sebelah kanan, ke sisi tengah shaf. Begitu selesai, kulihat rekan makmum disebelahku sedang menggelar sajadahnya. Sayang, posisi sajadahnya tersebut masih berjarak kira-kira 2 jengkal dari pinggir terluar karpet tempatku sujud. Aku bisa perkirakan, jaraknya lumayan banyak. Bahkan jika saat itu ada anak umur 6  tahun yang ikut shalat, pasti dia bisa sukses berdiri diantara aku dan rekanku tersebut. Takbiratul ikhram yang sakral itu sudah terdengar, segera, dengan senyum di wajah, ku gamit tangan rekanku tersebut dan kutarik pelan, dengan isyarat supaya lebih merapatkan lagi shaf-nya ke arahku.dia melihat ke arahku, dan aku yakin pasti mengerti maksudku.kulepaskan tangannya. Berharap dia akan melangkah mendekat dan menggelar lagi sajadahnya di posisi yang baru. Sayang 2x, senyuman dan isyaratku dibalas dengan tanpa isyarat. Rekanku tersebut, tanpa ba bi bu, langsung mulai shalat setelah selesai melihat ke arah wajahku…
Ya sudahlah…aku pun mulai shalat…
….
Itu bukan sekali-dua pengalamanku sesama rekan makmum dan sajadahnya,tapi sudah sering..
Setauku, dalam shalat berjamaah sangat dianjurkan untuk merapatkan shaf. Rapat artinya bahu luar saling bersentuhan antar makmum, pagian pinggir luar telapak kaki juga saling bersinggungan. Ini sangat dianjurkan, Itulah kenapa imam selalu mengingatkannya sebelum shalat dimulai. Tapi yang sering kutemui adalah bukan shaf-nya yang dirapatkan,tapi yang dirapatkan adalah ‘pinggiran sajadah dengan pinggiran sajadah’ lainnya. Dan sang empunya sajadah stay si tengah sajadah-nya tersebut, seolah-olah itu adalah wilayah teritorial yang harus dipertahankan, apalagi kalau sajadah yang big size, jarak antar makmum semakin besar.   
Kalau aku sih, yang penting merapatkan badan ke makmum di sebelah apakah saat itu Aku membawa sajadah atau tidak, yang penting rapat.
Ehmm…
Seperti biasa, jika ada hal yang kupahami, dan berseberangan dengan apa yang kujumpai, pasti akan ada pertanyaan-pertanyaan, itu tidak akan terpuaskan hanya dengan memberi jawaban netral kepada diriku sendiri;
Oh..mungkin rekan makmum mu tersebut tidak menyadari jarak shaf,  
Oh, mungkin karena dia sudah konsentrasi duluan mau shalat jadi ga ngeh tentang jarak shaf,
Oh, mungkin karena beliau sudah tua, jadi butuh space banyak pas duduk antara dua sujud nanti…
…..
Tapi harus ada sikap dari diriku tentang ‘fenomena’tersebut.

Bisa jadi memang, karena kondisi setiap orang itu beda-beda,,
 Bisa Ikut shalat berjamaah itu bagus, kereen malah, insya allah memperoleh segala kebaikannya.
Tapi tetap saja sajadah hanya instrument tambahan pelengkap yang seyogya-nya tidak mengurangi nilai-nilai atau prosedur tata cara pelaksanaan shalat berjamaah itu sendiri,,

 wallahu alam...
^-^



1 komentar:

Rakun mengatakan...

bener juga, kita harus mendahulukan yang lebih penting.
aduh, jadi kangen mesjid deket rumah di kampung halaman :D

Ohya, Euncha apa kabar? maaf ya baru balas kunjunganya :)